11/02/12

Sebuah Cerita Hangat Bertajuk Mandar

Penulis : Irwan 
"Bismillah bungasna pau-pau". 
Fajar masih saja menyingsing dari ufuk timur. Sang mentari pun tak pernah bosan menyinari hari. Suara anak-anak terdengar ditelinga yang baru sadar dari tidur, mereka berkeliling dari desa ke desa. Menawarkan “apang”, “putu”, dan “gogos”. Seakan membisikku untuk menikmati sarapan  khas Mandar. Sehingga membuat pagiku semakin merasakan kehidupan Mandar.

Singkat cerita, siang pun tiba. Sang surya pun sudah tergelincir diatas langit kelabu. Tampak dari laut, para nelayan sudah berdatangan membawa ikan. Dengan senyum, anak-anak mereka menyambutnya dan saling menyapa. Dijemput sang istri untuk mengambil termos didalam ruang “perahu sandeq. Adalah modal kehidupan mereka, berisi ikan yang mungkin tak seberapa.Yah, begitulah orang Mandar kawan. meski hasil tak seberapa, tetapi demi sebuah nafkah halal buat keluarga dirumah, mereka rela bertarung dgn gelombang laut, dan angin kencang.

Tak terasa, jarum detik jam dinding kian berputar, seperti putaran “roeng” yang diputar setiap hari oleh orang Mandar untuk menyempurnakan “lipa’ sa’be”.  Terbangun dari siangku, aku langsung menuju dapur. Disebuah meja makan buatan orang Mandar. Terdapat sepiring “jepa” serta “sokkol lameayu” membuat siangku terasa lengkap dengan makanan khas Mandar lagi.
Sore pun menjelangku, dan menikmatinya dgn suara mp3 Mandar, Dari handphone  genggamanku. Beberapa nyanyian yang tak asing buatku. Dirumah cukup panas, ingin merasakan angin sepoy-sepoy di pantai indahku. Aku pun berjalan kesana dgn iringan irama “panetteq” yang menenun sarung sutra Mandar dirumah tetangga, yang cukup sakral bagi orang Mandar. serta suara “roeng” untuk menyempurnakan benang di sarung sutra Mandar, yang bernama “lipa’ sa’be”. Menjadi sebuah irama perpaduan yang sakral.

Tiba dilaut yang sungguh tak jauh dari rumahku, jajaran “perahu sandeq” menyambut kedatanganku. Ingin sejenak mendudukinya, untuk melepaskan asaku. sambil Menikmati irama “passayang-sayang” yang diputar oleh tetangga.  Serta memutar video film dokumenter  “sayyang pattu’duq” dipambusuang dulu. Yang disutradarai oleh tetangga saya Dahri Dahlan, mahasiswa undip.  Sejenak mengingat kembali masa kecilku. Diwaktu sang bunda selalu mengajariku kata “tawe” kalau didepan orang banyak. Sebagai kesopanan di Mandar. serta kata “puan” kalau bicara kepada orang tua. Sebagai penghomatan di Mandar.
Juga mengingat kembali, ketika orang tuaku selalu mengantarku jika ada acara-acara di Mandar, seperti waktu baru pertama mengenal sang wantita penabuh rebana, bernama cammana. Yang memiliki suara yang sangat khas. Serta irama khas Mandar, yaitu tabuhan rebana yang selalu membahana, suara “calong” yang selalu bergema,  juga irama “kalinda’daq” yang berisi sya’ir pujian kepada Tuhan dan Rasul, yang selalu melengkapi hari Maulid. Sampai tradisi “ma’maccak” yang tak boleh hilang di Mandar.

Kawan, tak terduga, kita telah meminum seteguk demi seteguk air sungai “amandarang” (pengetahuan Mandar). mulai dari kata “bismillah bungasna pau-pau” hingga kata “tawe” dan “puan”. Sampai khasnya makanan Mandar, mulai dari “apang”, “putu”, “gogos” hingga “jepa” dan “sokkol lameayu”. Juga potret “siwali parriq”, suami nelayan dgn “perahu sandeq” dan istri menenun “sarung sa’be”. Hingga tradisi “sayyang pattu’duq” dan “ma’maccak” dgn  iringan “rawana” dan “calong” buat mengiringi “sayyang pattu’duq”. serta “gandrang” dgn tempo cepat, buat “pa’maccak. Semuanya adalah suatu pelajaran, bahwa sungai amandarang itu sangat deras.
Sabtu, 14 januari 2012.

1 komentar:

  1. Salam Maiyah kanda.
    Terimah kasih telah memposting tulisan saya diblogta'.

    BalasHapus

Sebuah kehormatan jika memberikan komentar pada tulisan-tulisan kami. Terima Kasih