28/08/10

Segi Empat

Sabtu 21 Agustus 2006

Kembali matahari melakukan tugasnya menyinari semesta dengan cahaya. Derap kaki juga nyanyian gelatik menjadi komposer musik yang warnai pagi itu. Gerimis sisa-sisa semalam, masih mencipta nyanyian sendu di atap-atap peradaban.

Kulirik jam di dinding kamar yang berkemas-kemas menunjuk pukul 07.30. dan tiba-tiba "aldhin...!!! bangun, sudah siang..!!. Suara perempuan setengah baya dari balik daun kamar. Itu adalah suara tante Hasnah, saudara perempuan ibuku. Dia yang membesarkan aku sejak kanak-kanak hingga sekarang. " Iya...!! aku sudah bangun.." sambil bangkit lalu tinggalkan kehangatan bantal dan kasur tidurku. Kuseret kantuk yang menggereyangai mata, dan bergegas kekamar mandi mengambil air wudhu. Sebenarnya aku tahu waktu shalat subuh telah lewat, tapi tak apalah, daripada tidak lebih baik melakukannya walau terlambat. 

Memang waktu terus berputar dan tiada juga jenuhnya manusia menghitungnya. Hari dikumpul jadi minggu, minggu dijumlah menjadi bulan lalu bulan ditambah-tambahnya hingga genap setahun. Hidup manusia memang dikuasai waktu, sehingga dibuatlah kalimat, "waktu adalah uang", yang dalam bahasa Inggrisnya “Time is money”.  

Seperti biasa, aku segera berkemas untuk kekampus. Kampus dengan rumahku memang lumayan jauh, hingga butuh angkot untuk sampai kesana. Kukayuh langkahku di sela-sela knalpot menuju terminal. Lalu-lalang manusia yang mencari reski kehidupan diderasnya hidup. Kurang dari 5 menit aku berdiri di terminal, sebuah angkot berwarnah kuning, yang di kaca depannya bertuliskan Parlente, datang menghampiriku. Tanpa menunggu terlalu lama, aku naik keangkot itu dan kemudian meluncur di aspal yang tampak masih basah.  

Sampai di kampus, aku langsung kekelas matematika dibagian pojok. "Assalamualaikum. Maaf pak saya telat", kataku memberi alasan pada dosen yang saat itu sedang memberi kuliah di depan mahasiswa. "Waalaikumsalam. Sejenak dosen dan teman-temanku menatapku yang sedang berdiri di pintu. Silahkan duduk". Dosen itu kemudian mempersilahkan untuk duduk. Aku segera menuju bangku paling belakang. “ Kok kamu telat lagi din …?” tanya Acha, temanku duduk. “Semalam aku terlambat tidur, jadi bangun paginya juga terlambat...” jawabku berbisik.

Ruangan tampak hening dari suara. Para mahasiswa asyik dengan tugas dari dosen. Jarum jam terdengar menghitung detik demi detik dengan cermatnya, tanpa terpikir baginya untuk tergesah-gesah dan menpercepat putarannya. Berbeda dengan aku, yang begitu gelisah menatap jam di dinding kelas. Jarum panjang menunjuk angka 9 dan jarum pendek menunjuk angka 8, “bagai kendaraan yang naik ketanjakan saja, lambat benar jam itu..” keluhku dalam hati.

Setelah dosen mengakhiri mata kuliahnya hari itu, aku bangkit lalu keluar dari kelas yang terasa pengap itu. “Kemana Din..?” tiba-tiba Nisa teman sekelasku telah di sampingku. “Kekantin”, jawabku seadanya. “Kita bareng ya, perutku juga lapar sepertinya sudah minta di isi”, kata Nisa. “ Din, sepertinya kamu ada masalah?”. Nisa, mulai bicara. “Itu perasaan kamu saja Nis…”, jawabku datar, sambil mengaduk mie di depanku. “Jangan sembunyikan masalahmu Din, setiap masalah itu pasti ada jalan keluarnya. Tuhan tidak pernah memberi ujian yang tidak mampu ditempuh oleh hambanya”, kata Nisa. “Aku tahu Nis, tapi aku tak bisa menerima semua itu”. Aku mulai terbuka pada Nisa, tentang masalahku. Nisa menatapku penuh tanya, “Nis, saat ini aku aku sepertinya jatuh cinta. Tapi aku sendiri tak mengerti awalnya bagaimana. Kenapa aku bisa mencintainya”. sambil menatap kosong ke depanku. “Aku tidak tahu lagi, yang seharusnya aku lakukan, karna dia seperti saudaraku sendiri”. Tiba-tiba Nisa memegang tanganku, “Din, cinta memang tak bisa ditebak, kemana dan pada siapa dia hinggap. Semua telah ditentukan olehNya, kita hanya bisa menjalaninya”.

Aku diam mendengarkan Nisa. “Lalu apa yang harus aku lakukan?”. Tanyaku sambil menatap Nisa dalam. “Lebih baik kamu katakan apa yang kamu rasakan padanya, percayalahlah Tuhan telah memilih jalan yang terbaik untukmu”, kata Nisa. Aku menarik nafas dalam-dalam lalu menyedu mie yang sudah mulai dingin. “Kebetulan sepupuku mengalami hal yang sama denganmu, dia tidak mengerti apa yang terjadi dengan perasaannya, dia juga mencintai seseorang yang begitu akrab dengannya, padahal dia sendiri sudah punya pacar yang sangat  mencintainya. Jadi pada dasarnya, cinta itu rahasia”. Aku hanya diam mendengar Nisa bercerita. “Aku mengerti perasaan kamu Din, bahkan aku yakin kamu bisa melewati semua itu”. Kata Nisa kemudian.

Tak terasa setengah jam lebih di kantin bersama Nisa, aku segera beranjak lalu membayar harga makanan yang kami pesan tadi. 
***
Sepulang dari kampus, aku tak lagi singgah di halte dan nongkrong dengan teman-teman seperti biasa. Aku langsung naik keangkot dan pulang kerumah. “ Din, cinta memang tak bisa ditebak, kemana dan pada siapa dia hinggap. Semua telah ditentukan olehNya, kita hanya bisa menjalaninya”. Suara Nisa kembali terngiang di ruang dengarku. Benar apa yang dikatakan Nisa, cinta itu sulit ditebak, dihati mana dia akan singgah. Yah, ia telah menjadi ketentuan Yang Maha Kuasa, seperti halnya dengan yang kurasakan saat ini, dimana aku telah mencintai seseorang yang lebih pantas aku anggap sebagai adikku sendiri. Supir menginjak pedal rem tepat di perapatan Tinambung, membuat lamunanku, hilang seketika. Aku segera turun dan memberikan uang sewa kepada sopir, lalu melangkah ke toko handpone di pinggir jalan. 

Siang itu, matahari begitu terik, tukang becak mengkayuh pedal tua dengan peluh mengalir dipelipis, menjelajah dagu hingga menetes seperti sisa-sisa air hujan diujung atap. Bising knalpot beradu bingar kernet mobil dan asap kendaraan, menjadi pemandangan siang di perapatan itu. Aku masih berdiri di situ, menatap lalang manusia yang berkutak dengan hidup.  

Tiba-tiba, “Din !”, seorang memanggil namaku. Aku menoleh dan mencari darimana suara itu, mataku menangkap sosok wanita berpakaian putih abu berjarak sekitar 20 meter dari tempatku berdiri. Dia tersenyum dengan senyum sambil melambaikan tangan padaku. Tak sempat aku mendekatinya, sebab tiba-tiba sebuah motor berhenti di sampingnya lalu menancap gas dan meninggalkan tempat itu. Darahku tiba-tiba berdesir, entah apa yang menyebabkan itu terjadi. Aku memanggil becak untuk megantarku pulang, sebab rasanya aku tak mampu lagi melangkahkan kaki ini.

­****
Malam itu di kamar, aku terus meraba-raba ingatanku tentang laki-laki berhelm ”terngkorak” yang menjemput Arini siang tadi. “Siapa laki-laki itu…?” Tanyaku pada diriku sendiri. Segera ambil handphone dan mengirimkan sebuah pesan singkat kepada Ririn. seorang siswi SMU 1 Majene yang duduk dikelas III:
“ Lagi ngapain Rin? sudah makan…?”
Beberapa saat kemudian ponselku bergetar, sebagai isyarat satu pesan baru yang masuk. Cepat-cepat kuraih handphone dan membaca isi pesan itu : 
“ Aku sudah makan kok, terima kasih atas perhatiannya, sekarang aku lagi baring-baring di tempat tidur, kamu lagi ngapain?”
Setelah membaca pesan balasan itu tiba-tiba lampu di rumah padam. “Din….!!, tolong kamu ambil lilin diatas bupet itu…!!” suara tante Hasnah terdengar dari dapur. “ Iya…” jawabku. Aku langsung mengambil mengambil lilin dengan merabanya diatas bupet kemudian menyulutnya dan membawanya kedapur.
Malam semakin larut tapi mataku tak bisa terpejam, bayangan Ririn terus  saja berputar-putar didalam benakku.

Minggu 22 agustus 2006,
Pagi itu aku bangun agak cepat dari biasanya. Sebab teman-teman dikampus pagi itu berencana untuk menyaksikan lomba dayung dipelabuhan Majene. Setelah berkemas-kemas, aku segera berangkat. “Biar teman-teman tidak terlalu lama menunggu kedatanganku”, ucapku dalam hati. Kurang lebih duapuluh menit, aku diatas angkot yang kebetulan sepi dari penumpang itu. “Kiri pak …!” sopir yang sedang asyik memutar lagu Iwan Fals itu, melirik kekaca spion dan, tanpa menunggu teguran yang kedua kalinya, ia menginjak pedal rem dan memperkecil suara tape. Aku turun dari angkot dan menyodorkan 2 lembar uang ribuan kepada sopir tadi.

Tiba-tiba punggungku disentuh seseorang, aku berbalik dan ternyata Nisa. “Kirain kamu telat lagi din” sapa Nisa sambil tersenyum manis. “ ah, kamu Nis, buat aku kaget aja…” balasku sambil tersenyum. “Mana teman-teman yang lain. Kok nggak kelihatan…?” Tanyaku pada Nisa. “Mereka dari tadi udah ngumpul disana”, sambil menunjuk kesalah satu warung yang berjejer dipinggiran pantai. “Kalau begitu, yuk kita susul mereka”. Sambil memperbaiki posisi tas dipunggungku, aku melangkah bersama Nisa.

Melihat kedatanganku, teman-teman tampak tersenyum dan menatapku agak lain dari biasanya, membuat aku tampak aneh. “Maaf ya friends, aku agak telat dikit, maklumlah banyak kerjaan dirumah” kataku pada mereka tapi mereka hanya membalas sapaanku dengan senyuman yang membuat aku menjadi tampak lebih aneh. “ Lihat ….!! lomba dayung segera dimulai ….!!” Hamka Tiba-tiba menunjuk kebibir pantai yang dikerumuni orang. Aku segera memperbaiki posisi duduk, untuk menyaksikan lomba dayung tersebut.

Sorak penonton bercampur desah angin, terdengar riuh menjagokan perahu idola mereka. “ Din…” Nisa menyodorkan sebuah minuman botol sprite kepadaku. “ Makasih ya Nis…” ujarku. “Aku nggak lihat perahunya Din, soalnya banyak yang lebih tinggi dari aku dan berdiri didepan”, keluh Nisa. “Kalau begitu kita cari tempat lain saja, biar kamu juga bisa nonton”. Kataku sambil beranjak dari tempat itu diikuti Nisa. “Kita kesana saja din”, tunjuk Nisa pada pohon yang memang agak rindang, dan letaknya cukup strategis dibanding tempat yang semula. “Yuk …” kamipun melangkah kearah pohon itu. Tiba-tiba aku menangkap sosok wanita dibawah sebuah gardu dipinggir pantai bersama seorang laki-laki. “Ternyata Ririn juga disini, tapi siapa laki-laki yang ada disampingnya…?” tanyaku dalam hati.

Lomba dimulai dan Nisa bersorak gembira melihat perlombaan itu. Beda dengan aku yang tiba-tiba tak bersemangat menyaksikan lomba itu. Mataku terus menelisik ketempat Ririn duduk dengan laki-laki itu. Tapi aneh, Ririn kelihatan tak juga bersemangat menyaksikan lomba itu, hanya sekali-kali saja ia menatap kebibir pantai, kemudian menunduk dan menggores-gores pasir yang ada dihadapannya. “Ternyata lomba dayung itu seru juga ya Din …”. Ucap Nisa tiba-tiba. Aku tersentak dan cepat-cepat menoleh, tapi tak memberi jawaban. “Kita pulang aja ya Nis…” unkapku datar pada Nisa. “Tapi lombanya belum selesai Din” jawab Nisa dengan wajah heran menatapku. “Aku lagi gak semangat nonton Nis…” sambil memutar badanku dan melangkah, Nisa pun mengikutiku dari belakang. Aku langsung menuju kesebuah kafe didekat pantai. “Din kamu sakit ya..?” tanya Nisa kemudian. Aku tak menjawab pertanyaan Nisa, perasaanku tak karuan saat itu.

Di kafe itu, laut nampak nampak jelas dengan ombak yang terus bermain selah-selah karang tiada jenuh-jenuhnya. “Din, kok tiba-tiba nggak semangat nonton, memangnya ada apa sih …?”, tanya Nisa sambil mengangkat gelas just alpokat kehadapanku. “Aku cuma agak pusing aja Nis”. Jawabku tanpa melepaskan pandanganku dari laut. “Aku juga ingin mengatakan sesuatu pada kamu Din, semoga saja kamu bisa membantu aku untuk lepas dari semua ini”. Aku menatap Nisa yang tiba-tiba menunduk. “Apa yang ingin kamu katakan Nis…?”. Aku pasti bantu sebisaku. Jawabku kemudian.

“Sebenarnya aku juga merasakan hal yang sama dengan kamu Din, aku mencintai orang yang telah kuanggap saudara sendiri, dan orang itu adalah kamu”. Nisa menatapku dalam-dalam kemudian menunduk, “Aku mencintai kamu Din…”. Kata Nisa hampir tak terdengar… Hatiku semakin tak karuan mendengar apa yang dikatakan Nisa, aku hanya bisa menatap Nisa yang menunduk dihadapanku. Suasana kafe menjadi hening, hanya kami yang kebetulan ada di kafe itu.

“Aku tahu kamu tidak akan bisa menerima kenyataan ini, tapi memang itulah kenyataannya”. Kata Nisa kemudian. “Bukan begitu Nis, tapi...”, belum sempat aku meneruskan perkataanku, tiba-tiba terdengar suara motor didepan kafe. “Nis …!!”, suara didepan pintu kafe membuat jantungku berdegup kencang. Ternyata Ririn, dia berjalan kearah kami sambil menatapku heran. Hatiku penuh dengan tanya. “Kenapa Ririn mengenal Nisa..?” tanyaku dalam hati. “Ternyata kalian ada disini”, kata Ririn sambil duduk. “Tadi kami nonton lomba dayung”, jawab Nisa. “Oh, iya … kenalkan, ini sepupuku Din, yang pernah aku ceritakan dikantin kemarin”. Ririn tersenyum sambil mengedipkan matanya, “Aku udah kenal aldhin kok”. Jawab Ririn tersenyum. “Kok bisa,…?” tanya Nisa heran. Ririn menunduk ketika aku menatapnya. Dimatanya seperti ada tanya yang tak bisa dia ungkapkan.

“Mana Agus, kok tidak kelihatan…? Tanya Nisa pada Ririn. “Sedang cari pulsa” jawab Ririn sepertinya kurang bersemangat. “Agus itu siapa …?” Tanyaku pada Nisa. “Dia pacarnya Ririn”. Jawab Nisa. Aku tidak membalas perkataan Nisa, tapi menatap Ririn yang tampak membisu dan memandang kelaut. Tak lama kemudian dari pintu kafe, muncul Gusti sepupu aku, yang tampak heran melihatku ada dikafe itu. “Kok kamu ada disini Din…?” tanya Gusti heran. “Aku yang seharusnya bertanya, kenapa kamu bisa ada disini…?” aku balik bertanya pada Gusti yang mulai duduk disampingku. Ririn dan Nisa menjadi heran dan menatap kami bergantian. “Kalian kenal dimana, kok bisa seakrab itu…? Tanya Nisa. “Jelas kenal dong, diakan sepupu aku Nis...”, Nisa bertambah heran dan menatap Ririn yang juga tampak bingung. “Kok Agus tidak pernah cerita tentang kamu Din”  Ririn tiba-tiba bersuara. “Jadi Agus yang kamu maksud beli pulsa itu adalah Gusti..!!? ” tanyaku heran. Aku seolah-olah mendengar suara sangsakala yang seharusnya ditiup malaikat pada saat kiamat tiba, nadiku seakan berhenti berdetak dan jantungku bertambah cepat memompa darah melebihi yang seharusnya ia lakukan.

“Oh Tuhan… mengapa engkau memberikan cobaan seberat ini padaku. Orang yang aku cintai adalah kekasih dari sepupuku sendiri. Dan orang yang mencintaiku adalah sepupu dari orang yang aku cintai….”
Tak ada yang bisa aku katakan saat itu, selain menatap pecahan ombak yang membelai karang dipantai Majene…


SELESAI 

Oleh : Salahuddin (Tinambung 21 January 2008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sebuah kehormatan jika memberikan komentar pada tulisan-tulisan kami. Terima Kasih