28/08/10

Angka Mati

Senja itu matahari mulai bersiap undur diri dari beranda langit, tempat biasanya ia menunggu hitam yang sebentar lagi datang. Anak ayam mulai menciut dibelakang induknya sembari berjalan pulang kekandang bersiap merapikan diri menikmati malam. “Dimana saja kau semalam?” Tanya Rahman padaku senja itu, ketika kami bertemu di warung Marsya. “Kebetulan ada acara dirumah teman bos” jawabku sembari membakar rokok yang baru saja aku beli di warung itu. Semalam aku memang tidak kumpul dengan teman-teman di warung itu. Dimana teman-teman sering mengadakan diskusi, membicarakan tentang berbagai macam hal. Jujur aku jarang menemukan kawan-kawan seperti mereka. Anehnya, mereka memiliki hobby yang sama, yaitu diskusi. Tiap malam mereka habiskan tidak seperti anak muda kebanyakan dikampungku, dimana kerjanya hanya lending kerumah pacar, atau nongkrong di penjual pulsa sambil nunggu cewek yang datang untuk beli pulsa, lalu menggodanya atau sekurang-kurangnya mencatat nomor hand phone cewek yang diambil dari buku penjualan vocer itu.
 
Diskusi biasanya dimulai setelah shalat Isya dan topik awal yang biasanya mereka bicarakan adalah tentang kebudayaan, diskusi itu biasanya alot sampai jam 10.00 malam. Kurang lebih jam 10.00 sampai jam 11.00 mereka bicara soal politik. Jam 11.00 sampai 12.45 mengkritik pemerintah habis-habisan karena rentannya korupsi di Negara ini. Larut malam jam 12.45 hingga mata mereka tak kuat lagi menahan kantuk, bicara soal cinta. Ada-ada saja yang mereka bahas. Pada awalnya jatuh cintalah, ditolak wanitalah, bertengkar dengan pacarlah, diputuskan pacarlah bahkan masih banyak lagi topik pembicaraan yang tak luput dari perbincangan mereka. Mengasyikkan memang kumpul dengan teman-teman seperti mereka. Semalam aku memang tak hadir di warung itu, sebab aku kebetulan dirumah Aidil. Dirumah Aidil sebenarnya banyak juga teman-teman yang diskusi, tapi berbeda dengan apa yang dilakukan teman-teman diwarung itu. Topik yang didiskusikan pun hanya satu, yaitu togel (toto gelap).
***
Malam itu dengan buku yang terlipat dikantong celana, serta sebuah bolpoint terselip di leher baju, aku membelok kedalam sebuah lorong kecil. Beberapa saat kemudian aku menaiki tangga sebuah rumah panggung yang dibagian depannya terdapat bola lampu 5 watt berpijar menerangi halaman rumah itu. Tok…tok…, aku mengetuk pintu rumah itu sembari mengucapkan salam, “Assalamualaikum”. Beberapa saat kemudian, sosok laki-laki tak berbaju dengan rambut gonrong diribonding, ditangannya tampak sebuah bolpoint dengan merek snowman yang kelihatan tintanya juga sudah hampir habis, sepotong cigaretek bermerek DL juga melekat dibibirnya. Ya… dia adalah Aidil, seorang pemuda berusia kurang lebih 25 tahun. “Masuk Din”, kata Aidil mempersilahkan aku masuk. Ternyata dirumah itu bukan hanya Aidil, tapi ada 3 orang yang sedang serius menulis pada selembar kertas. Sepintas mereka kelihatan sedang bekerja kelompok menyelesaikan tugas matematika yang begitu rumit.

Mendengar kedatanganku, serentak mereka menoleh, lalu tersenyum. “Wah, disini ada rapat rupanya” kataku sembari duduk diantara mereka. Mereka semua tersenyum. “Ya, malam ini kita akan mengadakan rapat bersama setan”. Kata Bahar bergurau. “Kita bukannya rapat bersama setan, tapi lebih tepatnya adalah sidang para setan” Asmin menimpali perkataan bahar. Semua yang ada diruangan itu tertawa mendengar perkataan Asmin. Benar juga apa yang dikatakan Asmin barusan, ini memang sidang para setan, dimana aku dan semua yang ada diruangan itu bisa dibilang setan-setan dalam wujud manusia, sebab yang kami lakukan malam itu adalah perbuatan yang sangat dilarang oleh agama (judi togel).

“Apa CK…?” Tanya Aidil padaku, yang ketika itu sedang asyik mengamati sederet angka pada sebuah tabel. “45 ganti satu bisa gabung”. Jawabku dengan mimik muka yang serius. Semua mata di ruangan itu menatap kearahku. “Mati 5”. Kata Aidil lalu menarik selembar kertas yang berisi sederet angka yang penuh coretan dengan berbagai model rumus. Sepintas seperti rumus fisika yang dipelajari di sekolah-sekolah. “coba lihat ini” kata Aidil. Aku mendekat pada Aidil, lalu mengamati deretan angka dalam kertas itu. Bawah sadarku terangsang, mengingatkan aku pada pelajaran matematika di kampus. Dikampusku memang penuh dengan rumus-rumus  matematika yang memusingkan kepala karena kebetulan saya mengambil jurusan matematika. “wah sepertinya besok malam kita bakal dapat rejeki besar bung, kataku pada Aidil. “Coba lihat ini”, aku menunjuk salah satu angka yang ada dalam tabel itu. “Menurut analisis aku, dari tahun 2005 sampai tahun 2008, pada setiap tanggal 26 angka 2D yang keluar selalu memiliki 1D yang ganjil dan jika 2D dijumlah dengan 1D maka hasilnya selalu angka yang genap. Shio yang keluarpun tidak pernah ganjil, jadi besar kemungkinan angka yang keluar besok malam adalah 47, sebab angka 5 menurut Aidil adalah angka mati” kataku menjelaskan hasil analisisku melalui tabel angka tersebut. Muka Aidil tampak berseri mendengar penjelasan itu, begitupun dengan teman-teman lain yang kebetulan ada dalam ruangan itu.

Jam di dinding tiba-tiba berbunyi, menyadarkanku bahwa malam sudah mencapai puncak. Aku pamit pada teman-teman yang kebetulan masih asyik dengan angka yang memusingkan kepala itu. Tapi Aidil melarangku untuk pulang. Katanya jam 2 malam nanti teman-teman akan melakukan ritual tara’ (meminta angka pada makhluk halus) di sebuah rumah tua dekat lapangan bola. Aku memang sudah lama mendengar ritual tara’, tapi belum pernah ikut langsung dalam ritual itu. Sepertinya rasa penasaranku menahan aku pulang kerumah, dan lebih memilih untuk ikut dengan teman-teman melakukan ritual itu.
***
Gerimis mulai turun. Aidil bersama dengan teman-teman termasuk aku, berjalan melewati jalan setapak yang tampak begitu samar karena lampu dirumah penduduk sudah padam. Jantungku berdegub tidak seperti biasanya. Sepotong suara dari mulut kami pun tidak terdengar selama perjalanan, kecuali suara sandal jepit yang bersentuhan dengan tumit kaki Bahar. Hening memang malam itu, apalagi gerimis yang sepertinya bertambah lebat. Aidil membelok kedalam sebuah halaman rumah yang tampak tidak terurus. Ya… sebuah rumah kosong yang konon ceritanya bahwa semua keluarga dirumah itu telah meninggal dunia dalam sebuah incident berdarah (perampokan). Aku hanya berdiri di pintu pagar dan memandang teman-teman yang sedang menyiapkan perlengkapannya untuk memanggil penghuni rumah kosong itu. Kulihat Aidil melambaikan tangannya kepadaku sebagai isyarat agar segera aku bergabung dengan mereka. Lututku gemetar seakan tidak kuat lagi melangkahkan kedua kakiku. “setelah aku membakar kemenyan ini, kamu jangan sekali-kali mengeluarkan suara dari mulut, karena itu berbahaya”, mendengar apa yang dikatakan Aidil, lututku semakin sulit kudiamkan, dia semakin kuat bergetar. Nafasku semakin tidak terkontrol saat itu. Kulihat teman-temanku duduk bersila dengan mata tertuju pada kemenyang yang dibakar Aidil. Suara anjing malam terdengar melonglong panjang, membuat suasana malam itu bertambah menyeramkan. Kulihat Aidil mengambil sesuatu dari balik saku celananya. Ternyata itu adalah sebutir telur ayam. Aidil kemudian membakar kemenyang itu dan asap mengepul dengan aroma yang membuat seluruh bulu badanku berdiri tegak, pori-poriku membesar, jantungku terdengar berdegub lebih cepat dari tadi. Kulihat Aidil mengangkat telur itu tinggi-tinggi keudara, sambil mengucapkan sesuatu yang tidak aku mengerti tapi yang jelas itu adalah mantra. Aidil kemudian meletakkan telur tadi tepat di pintu masuk sebuah kamar didalam rumah tua itu.

Beberapa saat, ketika diam menyelimuti ruangan itu, mataku menangkap sosok yang berjalan dari dalam kamar tadi, wajahnya begitu menyeramkan dengan bola mata yang bulat besar merah dengan rambut yang urakan. Kulihat dia berjalan mendekati telur tadi lalu mengambilnya, kemudian berjalan kearah kami. Ingin rasanya aku berteriak sekeras-kerasnya dan berlari dari tempat itu, tapi mulutku terasa amat berat untuk terbuka. Lututku terus bergetar dan kurasakan celanaku basah. Aku melirik Aidil disampingku, tampaknya dia menutup mata. Lalu aku melirik kearah bahar yang ada disamping kiriku, dia juga memejamkan matannya. kulihat sosok tua yang berjalan kearahku semakin dekat, ya kurang lebih 2 meter jaraknya, dia menyodorkan telur itu kepadaku. Jantungku terasa berhenti bergerak dan Aaaaaaaa…….aaaaaaaaaaa…aaaaaaa….!!!!!!!!!! aku berteriak sekeras-kerasnya lalu berusaha berdiri untuk berlari meninggalkan rumah tua itu. Tapi tak ada suara sedikitpun yang keluar dari mulutku, kakiku pun terasa lumpuh dan tak kuat berdiri dari tempatku duduk. Hanya air mata takut terus mengalir dari sudut mataku bertambah deras. Ketika sosok itu sudah tepat berada didepanku tiba-tiba gelap…
***
Paginya, rumah tua itu ramai dikunjungi oleh penduduk, disana terdapat garis plastik kuning bertuliskan police line, membentang disekeliling rumah tua itu. Dari dalam rumah itu, tampak orang-orang mengangkat beberapa tubuh yang sudah terbujur kaku dengan mata terbelalak. Para penduduk secara bergantian mendekati mayat-mayat itu. Anehnya pada jidat setiap mayat tersebut, terdapat tanda hitam seperti bekas terbakar, dan jelas disitu tertulis angka “5”.

--SELESAI--

Oleh : Salahuddin (Tinambung 10 December 2008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sebuah kehormatan jika memberikan komentar pada tulisan-tulisan kami. Terima Kasih