28/08/10

Kematian Cinta

Sosok itu masih tertancap kuat dibenakku. Suara khasnya terus terngiang mengalahkan bisingnya kanalpot dan deru kendaraan yang biasanya lewat didepan rumahku. Menjadikan semua system dalam diriku kacau. Wajah itu seakan telah menjadi segala-galanya bagiku, menjadi nafasku, menjadi denyut jantungku. Membuat aku tak konsentrasi dalam menjalani aktivitasku. Tak ada satupun alasan yang menguatkanku untuk mengusir sosoknya dalam benakku. Semakin aku berusaha untuk melupakannya, semakin kuat ia menancap.

Setiap nyanyian yang singgah di telingaku, seakan dinyanyikannya untukku. Ya, nyanyian kematian. Kematian rasaku. Kematian naluriku untuk sekedar mengajak seseorang untuk kembali singgah dalam kehidupanku. 
Andai tidak pernah ada lorong itu. Lorong dimana aku harus mengenalnya. Mengenalnya sebagai sosok yang membuatku kagum. Sosok sederhana, tapi begitu anggun. “Jujur aku kagum padanya”, kata Galang suatu sore. Pengakuan yang tiba-tiba menghantam kepalaku, membuat jantungku tiba-tiba tidak stabil. “Aku dengar, Reno juga ada hati padanya”, kata Galang kedua kalinya. Tidak berani aku menatap wajah Galang, aku takut dia tahu suasana hatiku saat itu.
 
Senja itu hampir habis, warnanya pun mulai pudar disudut langit. Adzan mengalun indah, menyadarkan kami segera bersiap sujud di hadapan sang pencipta, sang pemilik jagad raya. Lampu pada rumah penduduk pun telah dinyalakan, seakan mereka ikut membantu dewa terang dalam perangnya yang abadi, melawan dewa kegelapan yang sebentar lagi hadir bersama malam. “Aku duluan Man, mau mandi dulu”, ucapku pada Galang sambil berlalu meninggalkannya diwarung itu.
***
Malam itu bulan hampir purnama. Di sebuah warung, dua pemuda sedang asyik bercanda dengan tawa yang sekali-kali terdengar. Dia adalah Reno. Seorang pegawai negri yang masih terbilang muda dan tinggal di sekitar lapangan bola di kampung itu. Sedang temannya bernama Riyan, pemuda berbakat menjadi pujangga. Dia adalah mahasiswa pasca sarjana UNM yang kini mengadu hidup di kampung halaman, setelah di tanah daeng kurang lebih 4 tahun lamanya. “Man bisa tidak aku minta tolong?”. Kata Reno sembari mengisap cigaretek bermerk Sampoerna. “Sebenarnya ada apa?”. Tanya Riyan penasaran. “Ada sesuatu yang terjadi dengan perasaanku saat ini, dan aku yakin itu cinta”. Kata Reno, sembari menengok kedalam warung. “Cinta jangan terlalu di seriusi, bisa fatal nantinya”. Kata Riyan tersenyum dan mengisap rokoknya yang tinggal sepotong. Mengepulkan asapnya ke udara membentuk lingkaran kecil lalu hilang disapu angin yang kebetulan lewat di warung itu. “Sebenarnya siapa wanita yang begitu lihai mengambil hatimu?”. Tanya Riyan pada Reno, yang ketika itu hanya terdiam menatap kerlap lampu tower dari balai bambu tempat mereka duduk. Reno menoleh dan menatap Riyan dengan tatapan sungguh-sungguh. “Tapi aku harap kamu tidak menceritakan ini pada teman-teman. Biarkan waktu yang memberitahu mereka”. Kata Reno kemudian. Riyan tersenyum dan mengangguk. Reno sekali lagi menengok kedalam warung itu, sepertinya dia takut jika ada yang mendengar perbincangan mereka.

Dari kejauhan dua sosok gadis sedang berjalan menuju kewarung itu, mereka adalah Arini dan Olivia. Dua saudara yang tampak seperti sahabat. Arini adalah mahasiswi sebuah perguruan tinggi kesehatan, sedangkan Olivia masih berstatus siswi SMU kelas 2. “Sepertinya malam ini Tuhan mengutus dua bidadari padaku”, kata Riyan menyambut kedatangan dua gadis itu dengan gaya sastranya. Arini dan Olivia hanya tersenyum dengan gurauan itu, sebab pujian seperti itu telah sering mereka dengar dari Riyan, yang mahir membuat badai dari kata.
 
Itulah suasana lorong serigala ketika malam tiba. Selalu ada tawa dan canda. “Aku ada usul”. Tiba-tiba Riyan agak membesarkan volume suaranya. “Bagaimana kalau besok kita ke pantai?, sekalian kita ajak saja teman-teman yang lain”. kata Riyan kemudian. “sekali-kali kita perlu penyegaran pikiran loh, biar fresh gitu”. Lanjut Riyan meminta pendapat dari teman-temannya. “Aku setuju”, kata Reno yang sedari tadi hanya terdiam sejak kedatangan Arini dan Olivia. “Kebetulan ada mobil di rumah, itu bisa kita pakai besok. Bagaimana?”. Kata Reno meminta pendapat. “Serius nih?” Arini tiba-tiba bersuara. Sepertinya tertarik dengan usul Riyan. Reno mengangguk meyakinkan Arini. “Bagaimana kalau kita ikut?” kata Olivia meminta pendapat kakaknya. Arini hanya mengangguk sambil tersenyum. Ya, senyuman yang belum mampu diartikan oleh siapapun yang berada disitu.
***
Pagi itu aku pulang dari rumah Maras. Semalam aku menginap disana. Kulihat sebuah mobil biru terparkir di depan warung itu. Di situ ada Galang, Riyan, Reno, Arini dan Olivia. Ada juga beberapa anak yang masih usia SMP. Aku berjalan mendekati Reno yang berdiri disamping Arini. “Kalian mau kemana?”. Tanyaku penasaran. “Hari ini teman-teman mau mandi laut Riv. Kata Reno. “Ingat, kamu harus ikut. Kalau tidak, itu satu catatan pinggir buat saya”, lanjut Reno dengan gaya bahasa seorang pejabat.
Hari itu seharusnya aku kekampus. Ada nilai mata kuliah yang harus perlu aku komunikasikan dengan dosen. Tapi entahlah. Sepertinya ada sesuatu yang membuat aku tak bisa menolak ajakan itu.

Setelah semua beres, kami pun meninggalkan warung tempat berkumpul. “Kenapa Nindi tidak ikut?” tanya Riyan pada Arini. Nindi adalah sepupu Arini, dia anak periang dan suka bercanda, hingga disenangi banyak orang. Nindi adalah salah satu tunas muda yang punya potensi menjadi bunga desa. “Tadi pagi dia keluar dengan temannya, aku kurang tahu dia kemana”. Jawab Arini yang sedang asyik dengan tuts hand phonenya.
Mobil meluncur di aspal dengan kecepatan rata-rata 80 km/jam. “Aku ingin menjadi sesuatu yang bisa kau sentuh, aku ingin kau tahu bahwa ku selalu memujamu…”, dewa 19 terdengar mengiringi perjalanan kami.
Diatas mobil itu. Diantara canda dan tawa teman-teman, aku lebih memilih untuk diam. Kurang 20 menit mobil itu meluncur diatas aspal, dan tepat di perapatan jalan itu, Reno membelokkan mobilnya memasuki kawasan pantai Barane.

Sembari menenteng tas masing-masing, kami pun turun dari mobil dan mencari tempat yang teduh untuk beristirahat. Berbeda dengan Galang. Ia tampak siap-siap menyongsong pecahan ombak, dan berlari kelaut bermain dengan ombak yang sedang menepi.
Tapi Arini dan Olivia sepertinya belum berani masuk ke air. Mereka hanya berdiri di pantai menyaksikan pecahan-pecahan ombak. “Riv bagaimana kalau Arini kita paksa untuk mandi”. Kata Galang padaku, lalu berjalan mendekati Arini. Aku pun mengikuti Galang dari belakang. Arini sepertinya mengetahui niat kami, sehingga agak menjauh ketika kami berjalan kearahnya. Tanpa bicara aku menarik tangan Arini. Arini hanya mampu berteriak memintaku tidak menceburkannya ke laut. Aku tak menghiraukan teriakan itu. Tetap saja aku menariknya ke air hingga badannya basah. Aku tersenyum melihat Arini, ia seperti kambing takut air saja. “Mandi pagi itu sehat Non”, kataku pada Arini yang cemberut padaku. Tiba-tiba darahku berdesir menatap wajahnya. Anggun memang.
Tiba-tiba aku tersadar. Ada mata yang memandangku. Mata itu didalam air, bermain dengan pecahan-pecahan ombak. Tatapan yang penuh arti, tapi begitu sulit membacanya. “Riv…! Coba lihat ini” Galang tiba-tiba memanggilku. Kutinggalkan Arini di bibir pantai itu.
Matahari semakin meninggi. Sinarnyapun menggigit kulit yang terasa asin. Setelah membilas tubuh dengan air sumur dekat pantai itu, kami pun meninggalkan pantai dengan tawa yang masih tersisa.
***
“Kami tunggu di balai bambu”. Sederet pesan singkat dari Galang. Kuraih jaket hitam kesayanganku dan bergegas ke balai bambu. Kulihat teman-teman sedang sibuk memasang sesuatu didepan balai bambu itu. “Sepertinya ada pemutaran film”, tanyaku pada diriku sendiri. Kulihat Galang sedang sibuk menyambungkan laptopnya dengan proyektor. Galang hanya melihatku sebentar, lalu kembali sibuk dengan laptopnya.
“Riv, tolong hubungi Arini dan Olivia. Bilang kalau ini malam ada pemutaran film di lorong serigala”, sahut Marsya pemilik warung yang ada di samping balai bambu itu. Marsya adalah tante Arini. Ia adik dari Syahrul bapak Arini yang bekerja pada sebuah rumah sakit di kota itu. Segera kuraih phonsel nokia 1100-ku, lalu mengirim pesan singkat pada Olivia. “Nonton bareng yuk. Aku tunggu di balai bambu, ajak sekalian kakakmu”. Tidak beselang kemudian, Olivia mengirimkan pesan balasan. “Arini tidak mau datang, kalau tidak di sms sendiri ke nomornya”. Belum sempat aku membalas pesan itu, Olivia tampak berjalan sendiri ke arah balai bambu. “Mana Arini?” tanya Galang sembari membakar rokoknya. “Masih dirumah, sebentar ia menyusul”. Kata Olivia.

    Reno tampak sibuk memperbaiki posisi kain yang dijadikan layar. Sejak aku datang, belum pernah dia menegur aku. Mungkin karena dia sedang sibuk, hingga tak punya waktu untuk menegur aku.
Akhir-akhir ini ada yang lain pada Reno. Kadang dia tiba-tiba menjadi penganut diam adalah emas. Seperti dua hari yang lalu, ketika kami berkumpul di tempat itu. Dia hanya sekali-kali bersuara, itupun ketika kami memintanya untuk berbicara. Anehnya, itu terjadi ketika teman-teman dibalai bambu itu membicarakan Arini.
“Ah… mudah-mudahan itu tidak terjadi”, kataku dalam hati.
    Teman-teman tampaknya tak sabar lagi menunggu film itu di putar. Tapi berbeda dengan Reno, matanya masih liar ke ujung lorong itu. Entahlah.
Segera kukirim pesan singkat pada Arini, “Rin, nonton bareng yuk. Aku tunggu di balai bambu”. Tak ada pesan balasan Arini. Mungkin pulsanya kebetulan kosong atau mungkin pesan yang kukirim masih berputar di udara.
Beberapa saat kemudian, sesosok wanita dengan jaket yang membungkus badannya muncul dari ujung lorong itu. Ya, Dia adalah Arini.
***
Purnama malam itu mengapung di sungai. Hanya sekali-kali meleleh oleh riak kecil gelombang yang di cipta belaian angin. Reno melempar mata kail yang telah diberinya umpan ke tengah-tengah sungai itu. Air terdengar cemplung begitu jelas. Suara seperti itulah yang dirindukan Reno. Suara yang mampu menghilangkan semua kepenatannya, menghilangkan semua rasa yang membuatnya tersiksa oleh fatamorgana kehidupan. Di sungai itulah seperti biasanya dia menikmati indahnya sunyi. Indahnya sebuah kesendirian.
Sudah dua jam Reno dipinggir sungai itu, tapi tak satupun ikan yang memakan umpannya. “Aku belum siap menjawab semua itu sekarang Kak”, tiba-tiba suara Arini kembali menghampirinya. Suara yang membuat tangannya berkeringat. Suara yang mampu menggetarkan hatinya dan mengubahnya menjadi pendiam. Tiba-tiba tali pancingnya menegang. Semua lamunannya buyar. Segera ditariknya tali pancing itu dengan hati-hati. Ia amat takut ikan itu lepas dari kailnya. Dan cyusssss…sssttt tali pancing itu tiba-tiba kendor. Nafas Reno berhembus pelan, setelah menyadari harapanya lepas malam itu. Ia menengok jam digital di ponselnya. Sudah Pukul 01.00 malam. Suara Reno berbisik pada hening. Ia kemudian menggulung tali pancingnya, dan bergeras bersama motornya meninggalkan pinggiran sungai yang sempat memberinya harapan.
***
Dikamar itu, Arini tak bisa tidur, padahal  jam dindingnya telah menunjukkan pukul 01.15 malam. Pikirannya terus menerawang menembus langit-langit kamarnya. Entah kemana perginya pikiran itu. Adiknya sejak tadi sudah tertidur pulas, walau sekali-kali menggeliat disamping Arini meraba bantal guling yang lepas dari pelukannya.
Arini menangkap suara motor melewati lorong dekat rumahnya. Suara yang tak asing lagi dipendengarannya. “Dari mana dia tengah malam begini?”. Tanya Arini pada sunyi yang membungkus malam.
Matanya terasa kering, begitu sulit untuk dipejamkannya. Tadi siang Arini bertengkar dengan ayahnya. Dia menolak untuk di jodohkan dengan kakak sepupunya yang bekerja di pelayaran.
“ini untuk lebih mendekatkan hubungan keluarga kita. Lagi pula, dia punya pekerjaan yang kelak akan mampu membiayai hidup kalian. Jadi kamu tidak ada alasan untuk menolak semua ini. Ini untuk kebaikan kamu juga Arini…”. Suara ayahnya kembali terngiang dikamar itu, membuat matanya semakin sulit untuk tertutup. “Mengapa tak ada yang mau mengerti di rumah ini, aku bukan Sitti Nurbaya, tapi aku Arini”. Air matanya menetes pelan dari sudut matanya.
Dihelanya nafas panjang-panjang. “Oh Tuhan… apa yang harus aku lakukan?”, suara Arini berbisik seiring gerimis yang mulai melebat mengantar malam yang semakin hitam.
***
Pagi itu begitu tenang, masih tersisa tetes-tetes air hujan di ujung atap, yang kemudian jatuh dan mencipta jejeran lubang kecil pada tanah. Matahari masih enggan menampakkan menampakkan sinarnya. Mungkin karena mendung belum mau beranjak dari kaki langit, atau memang matahari lupa terbit pagi itu.
Belum habis lorong itu ia tempuh, tiba-tiba sebuah motor menghampirinya dan membawanya menginggalkan lorong itu. Tepat di depan sebuah toko ponsel, motor itu berhenti. “Terima kasih” kata Arini pada Reno yang telah mengantarnya. “Rin, kamu punya waktu sebentar sore?. Ada sesuatu yang ingin aku tanyakan”. kata Reno. Setelah berpikir sejenakl, Arini akhirnya mengangguk. “jangan lupa, aku tunggu di balai bambu”. Lalu meninggalkan Arini dan hilang ditikungan jalan itu.
***
Dikamar itu Arini menangis dipangkuan Ibunya. Air matanya mengalir deras. Sekali-kali ia terisak sebab dadanya terasa sesak. “Apa yang dikatakan bapakmu itu benar Arini. Ibu juga harap kamu bisa menerima semua ini”. Kata Ibunya sambil membelai rambut Arini. “Tapi aku belum bisa menerima semua ini bu…”. Suara Arini serak. “Kamu akan menyadari sendiri, cinta bisa hadir dari sesuatu yang begitu sulit untuk kita terima”. Kata Ibunya menasehati. Arini melepaskan diri dari ibunya dan berbaring menelungkup diatas tempat tidur. Air matanya deras mengalir dari sudut matanya.
***
    Di warung itu, Reno sudah setengah jam lebih duduk. Dia begitu gelisah. Aku hanya meliriknya sekali-kali saja, lalu pura-pura sibuk dengan ponselku. “Kenapa Arini belum juga datang?”. Reno berbisik pada dirinya. Begitu jelas suara itu menusuk pendengaranku. Membuat hatiku tersentak. “Ada apa dengan Reno. Mungkinkah ketakutanku selama ini menjelma di hadapanku?”. Segera kukuasai perasaanku, yang mulai berkecamuk dalam hatiku.

Dari ujung lorong itu, tampak Olivia berjalan ke arah warung tempat aku dan Reno duduk. “Apa Arini ada di rumah?. Tanya Reno pada Olivia. “Ada. Dia di kamar. Tapi belum mau diganggu”. Jawab Olivia sambil masuk kedalam warung mengambil sesuatu. “Ada apa denan Arini?”. Tanya Reno penasaran. “Arini rencananya akan segera di nikahkan akhir bulan ini”. Jawab Olivia. “Apa…!!” suara Reno pelan. Kepalaku seperti terhantam benda keras mendengar pengakuan Olivia tadi. Berbeda dengan Reno. Kulihat ada kehancuran, yang terpancar dari wajahnya.
***
Malam itu kian pekat. Ia datang dengan selimut gelapnya. Dedaunan pun enggan berkesiur. Pohon-pohon terbungkus pekat. Aroma malam dari ranting basah oleh gerimis terasa keras. Menusuk hidung siapa saja yang terbangun malam itu. Hembus angin mulai melemah, tak lagi kuat menggetarkan dedaunan. Malam kian menggigit. Hanya atap seng yang mendendangkan lagu dingin dari rintik gerimis yang juga mulai mengecil.
Arini masih saja menatap kelambu ranjangnya. Berbaring berbantalkan lengan kanannya. Disisinya terbaring seorang laki-laki yang menyisakan aura dari wajahnya. Dialah laki-laki yang siang tadi resmi menjadi suaminya.

Tampak jelas di wajahnya raut kegelisahan. Yah, kegelisahan yang akhir-akhir ini sering mungusik tidur malamnya. Kegelisahan yang kerap membuat matanya membelalak, kendati dimalam yang buta sekalipun. Untuk selanjutnya tertidur kembali dan lalu terbangun untuk yang kesekian kalinya. 
Tetapi tidak untuk malam ini. Arini betul-betul tak bisa tertidur. Matanya terasa sangat kering. Di sepanjang malam ia tak bisa terlelap. Walau telah beberapa kali ia terbangun untuk kembali mengais kantuk yang terasa lewat nguapan di mulutnya.

Akhirnya ia merasa perlu untuk bangun menyibak kelambu, lalu meninggalkan tempat tidurnya. Disudut kamar ia duduk, menatap bulan yang tinggal separuh. Dengan mata yang mulai memberat, Arini bergegas menutup jendela kamar dan masuk kembali ke dalam kelambu, sembari meraih belati dari balik laci meja. Ditatapnya wajah suaminya yang lelap dalam tidurnya. Begitu lama wajah itu dipandanginya.
“Maaf Kak. Saya tidak lagi pantas disebut sebagai istri. Ini memanglah sulit. Tetapi inilah kesimpulan yang paling akhir dan mesti kita tempuh. Sebab, cinta yang aku bangun telah hilang. Walau saat ini aku telah berusaha membangunnya kembali, tapi itu ternyata sia-sia”. Begitu batin Arini berbisik, sembari merapikan dirinya. Tidur kembali disamping suaminya dengan tangan yang masih memegang belati.
Diluar malam kian gelap dan pekat. Angin mendesah pelan. Lambat dan tenang. Yang ada hanya suara senyap berbalut longlong anjing yang panjang. Sesekali ditimpali desis serangga dan binatang malam yang lembab dan dingin.

Keesokan harinya Arif terpekik melihat disampingnya, istrinya terbaring dengan darah segar membasahi tempat tidurnya. Belati itu masih tertancap kuat didadanya, menjelaskan sebuah kepastian dan keteguhan yang salah.
***
Pagi itu aku termenung. Kupahat tanya di dinding langit yang masih tampak muram. Rinai gerimis masih senang menemani pagi. Mendendangkan tembang mengiris pilu.
Sosok itu kembali hadir diantara gerismis. Tersenyum. Sambil melambaikan tangannya. Dia berjalan di lorong itu, lalu hilang.  Aromanya masih terasa menemaniku. “Arini, mengapa kau begitu bodoh…”. Sembari mengusap air mata yang mengalir dari sudut mataku.
***
Dengan belati yang terselip di pinggangnya, Reno memasuki sebuah pemakaman. Tatapannya kosong. Langkahnya begitu berat. Seakan ada beban di pundaknya membuat ia terseok diantara jejeran batu nisan.
pada nisan yang masih baru itu, ia bersimpuh. Terisak sambil meremas tanah beraroma tajam. Aroma kematian. Gerimis semakin melebat. Mengguyur pemakaman itu. Tangannya meraba ukiran nama pada nisan itu, lalu mengambil belati yang terselip di pingganngnya…
 
--- SELESAI ---
 
Oleh : Salahuddin (Tinambung 27 Desember 2008)

2 komentar:

  1. wah.wah..sebentar di lanjutkan membacanya ya..mau pergi ke sungai mencuci , semoga tidak ada serigalanya..

    salam hujan

    BalasHapus
  2. hahahaha..... semoga tak hujan airmata kalau bertemud dgn serigala yg jatuh cinta..

    BalasHapus

Sebuah kehormatan jika memberikan komentar pada tulisan-tulisan kami. Terima Kasih