28/08/10

Hilang

Malam ini hujan masih tak mau berhenti. Hanya sekali-kali suaranya mengecil membentur atap seng, kemudian mengeras lagi. Diluar, malam begitu pekat. Hanya katak yang terdengar rajin menyahuti deras hujan. Sekali-kali terdengar ranting berderak dari dahan basah di depan rumahku.

Jam di dinding kamarku menunjukkan pukul 2 malam, tapi mataku masih juga tak mau terpejam. Ia terasa begitu kering. Walau bantal yang mengganjal kepalaku sudah beberapa kali kuperbaiki posisinya, tapi tak juga bisa memancing kantuk di mataku. Kudengar dari kejauhan ada yang berteriak, tapi begitu samar. Aku berusaha mengintip keluar melalui celah-celah dinding kamarku. Namun yang tampak diluar hanya hitam membungkus malam.

Njir...jirrr...!!!... suara itu kembali terdengar samar. Perasaanku mulai agak berbeda dari biasanya, segera kubuka jendela kamar untuk memastikan suara itu. Astaga...!!! aku terperangah melihat halaman rumahku yang tersorot bolam 5 watt. Yah, tampak air menelaga disana dengan warna kental kecoklatan.

Suara teriakan pun semakin ramai mengusik sepinya malam. "Banjir... banjir ....!!". Tanpa menunggu lama aku segera melompat keluar dari kamar dan menyalakan semua lampu di rumah. Segera kubangunkan Bapak dan Ibuku yang masih lelap tidur dikamarnya. Merekapun tampak begitu panik mendengar gemuruh dan teriakan orang-orang di sekitar kami. Tanpa ba bi bu, segera aku segera memasukkan semua surat-surat penting kedalam tas sekolahku kemudian menbungkus pakaian seadanya dengan sarung.

Sementara di luar, suara air menggemuruh merubuhkan pagar halaman rumah tetanggaku. "Ayo cepat kita cari tempat yang lebih aman", kataku pada bapak dan Ibuku. "Kamu duluan saja, biar bapak mengikat lemari dan mencari barang yang masih penting untuk kita bawa", kata bapakku. "Lebih baik kita cepat-cepat pak, sepertinya air akan semakin naik". kataku panik. Tapi bapakku tetap tidak mau pergi sebelum mengikat semua perabot rumah kami. “Kalian cepat turun...!! cari tempat yang lebih tinggi...!!” kata bapakku. "Pegang ini...!", sambil menyerahkan jergen yang sudah kosong kepada kami.

Di halaman rumah air sudah setinggi paha orang dewasa mengalir deras. Jantungku berdetak semakin kencang. Kupegang kuat tangan ibuku, lalu berjalan meninggalkan rumah. Kuterobos hujan yang semakin menderas dan mencari tempat yang lebih tinggi. Dengan susah payah akhirnya aku dan ibu sampai di tempat yang relatif aman dari air yang semakin meninggi.

Di sana ternyata juga sudah banyak penduduk yang mengamankan dirinya dari banjir. Kudengar begitu banyak diantara mereka yang terisak sembari melafalkan ayat suci Al-Qur'an. Beberapa saat kemudian, tempat itu sudah begitu ramai oleh para pengungsi. Segera kuamati wajah mereka satu persatu dalam pekatnya malam. Namun tak juga kudapati wajah bapakku diantara pengungsi itu.

Perasaanku kini menjadi semakin cemas. "jangan-jangan, Ahh... mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu", kataku dalam hati. Setelah memastikan bahwa bapakku belum sampai ketempat itu, akhirnya kuputuskan untuk kembali ke rumah mencari bapak.

Dengan berlari-lari kecil kuturuni bukit tempat para pengungsi itu berkumpul. Pendengaranku tiba-tiba menangkap suara orang yang menegurku. "Hey... kamu mau kemana...!!? Air semakin naik...!!! cepat amankan dirimu". Mendengar suara itu jantungku semakin berdetak kencang. "Oh.. Tuhan, bagaimana dengan bapakku dirumah?". Tanpa menghiraukan peringatan orang itu, segera kuterobos derasnya air yang semakin mengental dan menghitam itu. Potongan kayu dan perabot rumah yang hanyut, hampir menubruk dan menyeretku dalam derasnya air. Susah payah aku terus berjuang agar bisa segera sampai ke rumah.

Tampak samar kulihat rumah pua' rahang tetanggaku, perlahan mulai tergeser dari tempatnya lalu ambruk. "Astaga...!!" rumahku juga sudah hampir rubuh, tiang belakangnya juga sudah patah. Lalu dimana bapakku...?. Hatiku semakin cemas, sembari berpegang pada tiang listrik yang ada di depan rumahku, mataku terus liar dalam pekatnya malam. Pak...!! Pak...!!!. Kupanggil bapakku, namun tak ada suara dari dalam rumah. Hanya gemuruh air dan derak rumah yang mulai bergeser dari tempatnya menjawab panggilanku.

Pak....!!! Pak....!!!, tetap tak ada suara manusia yang menjawab panggilanku. Air mataku mengalir deras bercampur air hujan yang terus mengguyurku. Tolong....!! tolong...!!, tiba-tiba kudengar orang meminta tolong. Tapi begitu lemah. Kusapu air mataku dan mencari sosok itu. Mataku menangkap bayangan hitam yang sedang berpegang ke tiang rumahku yang tampak sudah terkoyak banjir. Aku yakin sosok itu adalah bapakku.

Entah ia melihat aku atau tidak namun begitu lemah lambaiannya. Bertahan sebentar pak...!! teriakku sambil cepat-cepat melepas tali pengikat rumah tetanggaku. Setelah tali itu lepas, segera kuikat ujungnya ketiang listrik tempat tadi aku berpegang. Lalu dengan tali itu, aku berusaha meraih tangan bapakku yang sudah tampak lemah.
Oh...tidak Tuhan, tali tempat aku berpegangan itu terlalu pendek, tinggal setengah meter lagi aku meraih tangannya. Tapi air semakin deras membuatnya semakin terseret terbawa arus. Tanpa berpikir panjang, kulepaskan peganganku pada tali itu dan berusaha kuraih tangan bapakku. Kupegang tangan itu kuat-kuat, tapi tiba-tiba sebatang kayu besar menabrak kepalaku.

Pagi itu begitu tenang. Gerimis sisa semalam masih masih tak mau pergi. Kayu-kayu besar berserakan di sana-sini. Mengisi jalanan dan tempat-tempat kosong di desa itu. Rumah penduduk juga banyak yang tak berada ditempatnya lagi. Hilang dan hanyut terbawa deras air.
Para pengungsi yang semalam berlindung di atas bukit juga telah sampai kembali ke desa. Wajah mereka tampak begitu kusut dengan pakaian yang masih basah. Tak ada kegembiraan sedikitpun di wajah mereka.

Seorang penduduk tiba-tiba berteriak memanggil temannya. Dia menemukan mayat tertindis puing-puing rumah. Mereka kemudian menyingkirkan puing-puing rumah itu dan berusaha mengangkat mayat yang tertindis di dalamnya. "Ada dua mayat rupanya". kata salah seorang penduduk. Aneh, dua mayat itu saling berpegangan. “Kelihatannya seperti bapak dan anaknya yang tak mau terpisah", kata seorang penduduk.

Sementara itu, diselah-selah kerumunan pengungsi. Seorang ibu dengan mata liar dan menelaga, mencari sesuatu diantara lautan manusia itu. Yah, sesuatu yang telah hilang dari hidupnya...

SELESAI


(Terinspirasi dari banjir bandang di petoosang 10 Januari 2009)
Oleh: Salahuddin (Tinambung, 10 Januari 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sebuah kehormatan jika memberikan komentar pada tulisan-tulisan kami. Terima Kasih